Sukabumi - Udara sejuk menerpa di area kaki Gunung Gede Pangrango. Di sini ada rimbunan pohon dan kemilau bentangan danau Situ Gunung. Situ ini terletak di Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.Keasrian kawasan itu terjaga meski sebagian sudah tersentuh modernitas dengan kehadiran Suspension Bridge, jembatan yang memiliki status sebagai jembatan gantung di tengah hutan terpanjang di Asia Tenggara, salah satu spot wisata favorit para pelancong saat ini.
Di antara kemilau danau, tersimpan sebuah cerita rakyat yang melegenda. Kisahnya menggambarkan sosok Raden Rangga Jagad Syahdana atau dikenal dengan julukan Jaka Lulunta.
Namanya kemudian sohor dengan sebutan Mbah Jalun. Sosok itu dikenal dari mulut ke mulut. Tidak hanya di kalangan warga setempat, tapi juga warga Sukabumi pada umumnya.
Sosok Mbah Jalun tidak jauh beda dengan cerita keberadaan si Pitung figur kepahlawanan Betawi yang tersohor. Mbah Jalun diburu Belanda, sempat tertangkap namun berhasil meloloskan diri berkat kesaktiannya. Konon, Mbah Jalun juga yang kemudian menemukan pertama kali kawasan Situ Gunung dan membuat danau di lokasi tersebut.
"Ada cerita dari sesepuh Kadudampit, Abah Oji, sosok Mbah Jalun dikenal karena telah membangun bendungan Situ Gunung untuk menampung air, dimana air tersebut kemudian dialirkan untuk mengairi kawasan permukiman yang ada di bawahnya, " kata Kepala Resort Pengelolaan Taman Nasional (PTN) Situ Gunung, Asep Suganda beberapa waktu lalu.
Namun, sesepuh tersebut wafat pada 2019. Asep Suganda sendiri sudah lebih dari 20 tahun bertugas menjaga kawasan tersebut.
"Almarhum Abah Oji semasa hidupnya menceritakan kepada kami bahwa Mbah Jalun berada di Situ Gunung sekitar tahun 1770-1841. Bahkan menurut Abah Oji, Mbah Jalun ini beragama Islam, " ungkap Asep.
Menurut versi ini, Mbah Jalun pada 1839 pernah tertangkap Belanda sampai akan dihukum gantung di Alun-alun Cisaat. Cuma saat itu Mbah Jalun berhasil lolos. Dalam masa penyamaran itulah namanya mulai dikenal secara luas.
Hingga kini belum diketahui pasti apakah sosok Mbah Jalun ini hanya sebatas cerita rakyat atau memang nyata keberadaanya. Sebab belum ditemukan bukti otentik atau penelitan khusus soal keberadaan Mbah Jalun.
Terlebih lagi untuk membuktikan apakah benar Situ Gunung dibangun Mbah Jalun atau sudah terbentuk dengan sendirinya. Tidak diketahui secara pasti di mana makam sosok orang sakti tersebut.
"Bahkan sampai sekarang di mana lokasi makam Mbah Jalun belum ada yang mengetahui. Untuk membuktikan bahwa sosok Mbah Jalun ini benar-benar ada, memang perlu penelusuran lebih jauh, " ungkap Asep Suganda.
Banyak kemungkinan soal terbentuknya Danau Situ Gunung terlepas dari versi cerita rakyat yang memang sudah turun-temurun mengalir dengan berbagai versi. Asep Suganda menjabarkan kemungkinan Situ Gunung adalah bekas kawah gunung purba yang meletus yang cekungannya membentuk danau seperti sekarang
"Terdapat jenis batuan vulkanik di area sekitar Situ Gunung. Kemudian ada lapisan pasir yang menandakan bekas letusan gunung. Tetapi memang untuk membuktikan hal itu perlu riset juga dari para ahlinya. Sampai saat ini belum ada yang sampai ke sana, meneliti apakah benar Situ Gunung ini bekas kawah gunung purba yang meletus, " ucap Asep.
Baca juga:
20 Juli Hari Catur Sedunia, Simak Sejarahnya
|
Berdasarkan reverensi pengetahuan yang ia miliki, Situ Gunung berada di kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP) dan kemudian menjadi kawasan cagar alam. Kata Asep, pada 1889, beberapa ahli botani Eropa, tak terkecuali Belanda, pernah datang untuk melakukan penelitian ekosistem di Situ Gunung.
Sehingga pada tahun itu Situ Gunung dan kawasan Cibodas, Puncak, masuk dalam kawasan Cagar Alam Cimungkad. Cimungkad sendiri saat ini dikenal sebagai kawasan konservasi Elang Jawa yang masuk ke wilayah Kecamatan Caringin, Kabupaten Sukabumi.
"Belanda ini datang sekaligus ingin meneliti flora dan fauna di kaki Gunung Gede Pangrango. Hal ini dibuktikan lewat beberapa foto era Belanda yang sudah kami arsipkan rapi. Pada tahun 1928 kemudian Belanda menjadikan Situ Gunung sebagai waterpark atau taman wisata air, " jelasnya.
"Seiring waktu, menurut sejarah yang saya baca, tahun 1977 Cagar Alam Cimungkad diubah menjadi Cagar Biosfer Cibodas oleh UNESCO. Setelah itu tahun 1980, persisnya tanggal 6 Maret, ditetapkan menjadi taman nasional, tergabung dalam TNGGP yang luasnya 15.196 hektare mencakup Bogor, Sukabumi dan Cianjur, " ulasnya.
Asep mengatakan, meski jadi objek wisata, kelestarian alam di lokasi dijaga betul. Terlebih danau yang dulu luasnya mencapai 21 hektare itu sering dikunjungi beberapa satwa liar endemik Gunung Gede Pangrango. Seperti macan tutul, babi hutan, landak, kijang, rusa, hingga beberapa jenis burung, reptil dan serangga unik lainnya.
"Malahan dalam waktu tertentu sering ada burung migrasi seperti burung pecuk ular hingga dara laut atau sering disebut burung rayak-rayak yang transit di Situ Gunung. Ia dan timnya tak jarang mengabadikan momen datangnya satwa liar yang datang menggunakan camera trap, " pungkasnya.
Oleh : Anwar Resa Jurnalis Nasional Indonesia